Senin, 19 Desember 2011

KORUPTOR

Malam ini cerah bukan main, langit nyaris tanpa awan, sesekali meteor terlihat melintas. Di paviliun yang tergolong mewah, Tuan Borocorah, seorang pejabat Teras Kota Z bersama istri tercintanya, orang memanggilnya Nyonya Boro. Tuan pemilik paviliun asyik bersandar pada kursi goyang sambil membuka-buka surat kabar, perawakannya gemuk minta ampun. Sepadan dengan istrinya, bisa dikatakan gembrot.

” Ada berita hangat apalagi di koran-koran ,Pap?” Tanya sang Nyonya, masih asyik membersihkan kuku-kukunya, pada dasarnya kuku-kukunya memang sudah bersih, hanya terjebak dengan kebiasaan saja dia melakukannya.

” Akhir-akhir ini aku lebih fokus pada obituari daripada sekedar membaca berita-berita murahan, Mam!” kata sang Tuan tenang. Kembali membaca, lebih tepatnya melahap obituari.

” Bukankah kasus Tuan Zobaru juga masih hangat untuk kita bicarakan, Pap!?”

” Ah… ini Republik Inihdia, Mam!” Menoleh sesaat.” Cerita sama dengan berita, berita bisa jadi cerita….”

” Katanya, Tuan Zobaru akan digantung, memang pantas bagi koruptor seperti beliau itu digantung!” Ungkap sang Nyonya memperlihatkan ekspresi kesal berlebihan. ” Papa, setuju jika setiap koruptor harus dihukum gantung…?”

” Mana yang lebih baik, digantung atau dipenjara seumur hidup?” Sang Tuan membenarkan cara duduknya, meraih secangkir kopi panas.

” Entah!”

” Dua-duanya tidak perlu dilakukan. menggantung para koruptor sama dengan mengambil hak Tuhan. Memenjarakan seumur hidup pun sama dengan membunuh secara perlahan, kembali mengambil hak Tuhan…!”

Nyonya gembrot yang biasa ke salon itu kurang berselera nampaknya. Tuan Borocorah, bangkit. Menatap istrinya. Dari saku baju kimononya dia mengeluarkan kotak kecil.

” Ini ambil!” Katanya kepada istrinya.

Nyonya Boro menyambarnya, kemudian tanpa menunggu disuruh, membuka kotak kecil itu. Matanya bukan kepalang setengah melotot melihat isi kotak, kalung dan gelang, masing-masing beratnya sepuluh gram.

” Bagaimana Papih bisa melakukan semua ini, bukankah tanggal gajihan masih harus menunggu dua minggu lagi!?” Katanya, ia mencoba-coba sambil tersenyum-senyum.

” Ya harus bagaimana lagi toh kamu terus-terusan merengek meminta dibelikan semua ini. Bagaimana mungkin aku bisa membeli rongsokan ini kalau aku tidak mencontoh perbuatan Tuan Zobaru! Mam!” Kemudian ia melengos menuju rumah, meninggalkan istrinya.

Nyonya Boro tidak mendengar suaminya, ia lebih asyik dengan kalung dan gelangnya. Setelah selesai memakai dan bergaya, ia mengikuti suaminya ke dalam rumah. Di kamar, suaminya telah nyenyak tidur, kemudian dia pun tidur disebelah suaminya sambil memakai kalung dan gelang itu. Suasana pun menjadi hening, padahal malam itu beberapa gelandangan sedang diobrak-abrik oleh para petugas keamanan Negara Republik Inihdia, nun jauh di sana…

KANG WARSA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar