Malam ini cerah bukan main, langit nyaris tanpa awan, sesekali meteor
terlihat melintas. Di paviliun yang tergolong mewah, Tuan Borocorah,
seorang pejabat Teras Kota Z bersama istri tercintanya, orang
memanggilnya Nyonya Boro. Tuan pemilik paviliun asyik bersandar pada
kursi goyang sambil membuka-buka surat kabar, perawakannya gemuk minta
ampun. Sepadan dengan istrinya, bisa dikatakan gembrot.
” Ada
berita hangat apalagi di koran-koran ,Pap?” Tanya sang Nyonya, masih
asyik membersihkan kuku-kukunya, pada dasarnya kuku-kukunya memang sudah
bersih, hanya terjebak dengan kebiasaan saja dia melakukannya.
” Akhir-akhir ini aku lebih fokus pada obituari daripada sekedar
membaca berita-berita murahan, Mam!” kata sang Tuan tenang. Kembali
membaca, lebih tepatnya melahap obituari.
” Bukankah kasus Tuan Zobaru juga masih hangat untuk kita bicarakan, Pap!?”
” Ah… ini Republik Inihdia, Mam!” Menoleh sesaat.” Cerita sama dengan berita, berita bisa jadi cerita….”
” Katanya, Tuan Zobaru akan digantung, memang pantas bagi koruptor
seperti beliau itu digantung!” Ungkap sang Nyonya memperlihatkan
ekspresi kesal berlebihan. ” Papa, setuju jika setiap koruptor harus
dihukum gantung…?”
” Mana yang lebih baik, digantung atau
dipenjara seumur hidup?” Sang Tuan membenarkan cara duduknya, meraih
secangkir kopi panas.
” Entah!”
” Dua-duanya tidak
perlu dilakukan. menggantung para koruptor sama dengan mengambil hak
Tuhan. Memenjarakan seumur hidup pun sama dengan membunuh secara
perlahan, kembali mengambil hak Tuhan…!”
Nyonya gembrot yang
biasa ke salon itu kurang berselera nampaknya. Tuan Borocorah, bangkit.
Menatap istrinya. Dari saku baju kimononya dia mengeluarkan kotak
kecil.
” Ini ambil!” Katanya kepada istrinya.
Nyonya
Boro menyambarnya, kemudian tanpa menunggu disuruh, membuka kotak kecil
itu. Matanya bukan kepalang setengah melotot melihat isi kotak, kalung
dan gelang, masing-masing beratnya sepuluh gram.
” Bagaimana
Papih bisa melakukan semua ini, bukankah tanggal gajihan masih harus
menunggu dua minggu lagi!?” Katanya, ia mencoba-coba sambil
tersenyum-senyum.
” Ya harus bagaimana lagi toh kamu
terus-terusan merengek meminta dibelikan semua ini. Bagaimana mungkin
aku bisa membeli rongsokan ini kalau aku tidak mencontoh perbuatan Tuan
Zobaru! Mam!” Kemudian ia melengos menuju rumah, meninggalkan istrinya.
Nyonya Boro tidak mendengar suaminya, ia lebih asyik dengan kalung dan
gelangnya. Setelah selesai memakai dan bergaya, ia mengikuti suaminya ke
dalam rumah. Di kamar, suaminya telah nyenyak tidur, kemudian dia pun
tidur disebelah suaminya sambil memakai kalung dan gelang itu. Suasana
pun menjadi hening, padahal malam itu beberapa gelandangan sedang
diobrak-abrik oleh para petugas keamanan Negara Republik Inihdia, nun
jauh di sana…
KANG WARSA.